Sabtu, 23 Juli 2011

REBO PUNGKASAN (kutulis 2009)

Terdengar tangisan lirih di sudut desa, sebuah Negara besar yang makmur gemah ripah loh jinawi. Disusul percakapan ringan antara bapak dan anak terdengar dari sebuah gubuk kecil di pojok pertigaan jalan.
”Mbok yang sabar to nok, musim ini romo tidak bisa panen, sama juga dengan Wo Karso bapaknya si Mur” ucap seorang bapak pada anak perempuan kecil yang memakai kain dan baju yang usang.
”Tapi romo, minggu depan kan lebaran. Tinuk sudah tidak punya jarit dan baju baru” rengek anak kecil yang ternyata bernama Tinuk. cuma tarikan nafas panjang yang mampu dilakukan oleh sang bapak.
Memang keadaan sulit baru dialami oleh sebuah perkampungan kecil di daerah Mataram, air untuk pengairan sawah sulit dijangkau walaupun dilalui sebuah sungai besar di pinggir perkampungan. Dan inilah yang menjadi pemikiran Sultan Agung beberapa bulan terakhir.
Di Sitinggil keraton Mataram sedang diadakan parepatan agung, yang dihadiri oleh sentana dan para nayaka kerajaan.
” Paman Patih, apakah sudah hadir semua nayaka praja diparepatan ini paman ?” tanya Sultan pada warangka dalem.
” Sembah saya katur Gusti, semua nayaka praja sudah datang dan menunggu titah Gusti ” jawab patih penuh ta’dzim.
”Para nayaka dan semua yang hadir, tujuan utama dari parepatan ini adalah kalian semua saya ajak untuk menggalih keadaan yang Sekarang sedang dialami kawula para petani. Mereka mengalami gagal panen sehingga penghidupan mereka makin hari terasa makin berat”
” Duh gusti, kelihatanya sudah maksimal yang dilakukan oleh para lurah untuk warganya, Semua bantuan sudah coba diberikan pada warga, baik yang berupa banda bea, bau suku maupun eguh pertikel. Namun ternyata belum membawa perubahan yang berarti” Jelas Patih .
” Menurut hemat saya, semua persoalan ini bermuara pada sulitnya warga mendapatkan air untuk mengairi sawahnya, sehingga dalam satu tahun hanya mampu panen satu kali, untuk itu paman.... saya titahkan kali Opak dibendung, dan airnya kita manfaatkan untuk kebutuhan keraton dan pengairan” titah Sultan Agung Hanyakra Kusuma pada semua yang hadir.
Hari berikutnya dimulailah pekerjaan membendung Kali opak. Semua rakyat, prajurit, dan para ahli bangunan bahu membahu bekerja bersama-sama untuk membangun bendungan kali Opak. Singkat cerita jadilah bendungan kali Opak. Begitu luas bendungan sehingga tampak seperti lautan (jawa: Segara) maka masyarakat menyebutnya sebagai laut buatan atau segara wiyasa ( sekarang daerah itu menjadi daerah dengan nama Segarayasa).
Di lain tempat diceritakan semenjak laut buatan yang diprakarsai oleh Sultan Agung sudah jadi, Penguasa keraton lelembut Laut Kidul merasa ada sesuatu yang beda di laut kidul
” Mbok Mban laut kidul dan Paman Patih Alun Sebantheng, mendekatlah kesini. Ada sesuatu yang menggangu pikiran saya” perintah Nyai Roro Kidul pada dua abdinya yang setia.
” Ada persoalan apa Nyai Ratu” tanya Mbok Emban laut kidul dengan lirih, namun tepancar kekuatan dan kewibawaan seorang pamomong.
” Apa ada yang mencoba njongkeng kawibawan di keraton selatan Gusti Ratu?” saut Patih Alun Sebantheng dengan suaranya yang berat menggelegar.
” Bukan Paman Patih, namun ada sesuatu yang berbeda di laut kidul. Air kali Opak seakan berhenti dan tidak mengalir ke Laut Selatan, ada apakah gerangan?” Jawab Nyai Roro Kidul.
” Apa belum ada Sasmita dari yang Maha Kuasa Nyai Ratu ? ” Tanya Mbok Emban laut kidul.
” Belum ada Mbok Emban .... ” saut Nyai Ratu
”Paman Alun Sebantheng, Aja wedi kangelan, Paman saya perintahkan untuk menyisir sungai Opak sampai ke lereng Merapi, cari apa penyebab air Opak berhenti mengalir ke laut selatan” perintah Nyai Ratu pada Patih Alun Sebantheng.
Dengan merapal Aji Tirtogegono, Patih Alun Sebantheng menyusuri sungai Opak yang airnya tinggal sedikit namun akibat dari Aji Tirtogegono, kali opak seakan muncul ombak besar yang berjalan ke utara. Sampailah Patih Alun Sebantheng di daerah sekitar Keraton Mataram di Pleret, dia melihat bendungan besar yang menutup aliran Kali Opak.
” Whe... Lhadalah... ini biang keladi dari kegundahan Ratu Gustiku, segera akan aku haturkan apa yang aku lihat” gumam Patih Alun Sebantheng, dan seketika itu ombak besar di tengah sungai opak bergulung ke selatan menuju Laut Selatan.
” Katiwasan gusti ratu.... katiwasan.....”
”Ada apa Paman Patih ?”
” Ternyata Kali Opak dibendung Mataram, dijadikan laut ditengah daratan gusti ”lapor Patih Alun Sebantheng.
Ratu laut selatan yang terkenal bijaksana itu tertegun mendengar laporan Patih Alun Sebantheng.
” Tidak habis pikir... apa maksud Sultan Agung melakukan semua itu ....” gumam penguasa samudra itu dalam hati.
” Paman patih, Sultan Agung yasa segara (membuat laut) tidak minta ijin ke Laut Selatan, Untuk itu paman kembalilah ke Mataram bongkar laut buatan Sultan Agung itu”
” Sendika dhawuh Gusti, mohon pamit melaksanakan titah Gusti Ratu ” Patih Alun Sebantheng mohon diri. Sesampainya di bendungan, Patih Alun Sebantheng seorang diri merapal mantra Aji Bayu Bajra . dari kedua telapak tangan patih Alun Sebantheng bergumul awan hitam yang makin lama makin membesar. Suara gemuruh terdengar seiring dengan makin besarnya gumpalan awan hitam di tangan Sang Mandraguna. Sejurus kemudian Awan hitam meluncur dengan kecepatan tinggi menghantam satu bagian dari bendungan, di kuti suara menggelegar.
Mendengar suara mencurigakan, ki Jagabaya yang mengepalai ronda para prajurit keraton terhenyak, dan spontan berlari menuju sumber suara. Setelah melihat apa yang terjadi ki Jagabaya marah besar.
” Demit ... kurang kerjaan, apa yang kamu lakukan...?” hardik ki Jagabaya pada Patih Alun Sebantheng.
Mendengar teriakan ki Jagabaya, Patih Alun Sebantheng menghentikan pekerjaannya
” Aku hanya mengambil hakku kembali”
” Hak apa... hak dari mana...!!!! ”
Tanpa diketahui siapa yang memulai, pertarungan sengit terjadi antara ki Jagabaya dengan Patih Alun Sebantheng. Tampak jelas kemampuan dua orang yang sedang beradu kadigdayan tidak seimbang. Ki Jaga baya telah mengeluarkan segala kadigdayaan namun masih belum mampu melawan Patih Alun Sebantheng yang memang bukan tandingannya.
Melihat pimpinannya terdesak seorang prajurit berlari menuju pesanggrahan Puru baya ” Gusti ... Katiwasan Gusti...katiwasan ” teriak prajuri sambil meggedor pintu pesanggrahan.” Gusti... katiwasan....”
”Ada apa prajurit”
” Ada lelembut ngamuk..”
” Ngamuk bagaimana ?”
” Di bendungan ada sosok lelembut dengan wajah menakutkan mengamuk menghancurkan bendungan, ki Jagabaya dan prajurit yang lain sudah menghadang namun keseser gusti” kisah prajuri dengan terengah-engah. Tanpa berbicara sepatah kata, Pangeran Purbaya kembali masuk ke rumah dan tak begitu lama sudah keluar dengan membawa keris Kiai Pasopati piandelnya. Dengan sekali hentak pangeran Purbaya melesat dan hilang dari pandangan tertelan gelapnya malam.
Sesampainya di tempat pertempuran tampak ki Jagabaya sudah terengah- engah menahan serangan dari patih Alun Sebantheng.
” Iblis laknat dari mana kamu berani membuat onar di wilayah Mataram” seru Pangeran Purbaya dengan lantang. Seketika itu pertempuran antara Patih Alun Sebantheng dengan ki Jagabaya terhenti.
” Pangeran.... aku Alun Sebantheng, Patih dari kerajaan laut selatan”
” Sudah bosan hidup berani membuat onar di wilayah keraton Mataram ?”
” Aku hanya mengambil hak keraton Laut Kidul” Hardik Patih Alun Sebantheng sambil merapal Aji Bayubajra dirahkan Pangeran Purbaya. Dengan gesit pangeran Purbaya meloncat melesat keudara. Pertempuran makin sengit segala aji jaya kawijayan serta semua ilmu kanuragan telah di keluarkan namun belum kelihatan siapa yang akan unggul. Akhirnya Pangeran Purbaya mencabut keris piandelnya, tampak cahaya warna biru memancar dari bilah keris yang dipegang oleh Pangeran purbaya. Seketika itu juga ......
” Adawww panas...panass.....!!!!!” terdengar jeritan dari Patih Alun Sebantheng. Hawa sejuk yang keluar dari pancaran biru keris ternyata membawa hawa panas yang menyakitkan bagi bangsa lelembut. Patih Alun Sebantheng berlari secepat hembusan angin berlari menuju keraton Laut Selatan.
”Syukurlah gusti... demit Laut Kidul sudah dapat diundurkan. Tapi kenapa dibuat lama, mbok tadi pusaka dicabut tinggal mak Wussssssss...... langsung beres..” seloroh seorang prajurit. Pangeran Purbaya tersenyum.
” Sengaja... sekalian neter kedigdayan Patih Laut Kidul”
Sesampainya di Keraton Laut Kidul Patih Alun Sebantheng menghadap Ratu Laut Kidul.
” Nyadhong duka Gusti, hamba belum bisa melaksanakan tugas dengan baik ” lapor patih Alun Sebantheng.
” Apa yang terjadi Paman?”
” beru sedikit bendungan yang dapat rusak namun sudah keburu ketahuan pangeran Purbaya, dan hamba kalah beradu kadigdayan.... Mohon Ampun gusti ”
” Mungkin saya sendiri yang harus menemui Sultan Agung” kata Ratu Kidul penuh amarah.
Di Mataram, terjadi kegegeran bendungan Segara yasa jebol, mendengar itu Sultan Agung turut melihat langsung ke tempat bendungan dan memerintahkan para punggawa beserta rakyat untuk menambal bendungan ( sekarang daerah itu terkenal dengan desa Tambalan). Segala upaya telah diupayakan bendungan yang jebol telah ditambal namun muncul kerusakan baru begitu terus menerus.
” Paman patih, apa memang salah saya membuat bendungan namun tidak minta ijin dulu pada Ratu Kidul?” seloroh Sultan Agung pada patihnya di suatu ketika.
” Mohon maaf Gusti, semua sudah terjadi, bendungan juga sudah dibuat. Penyesalan tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah Gusti.”
” Benar apa yang kau katakan Paman”
Ditengah pembicaraan datang seorang punggawa melaporkan keadaan di bendungan ” Mohon ampun Gusti Sultan, hamba mau melaporkan keadaan pembangunan kembali bendungan”
” Bagaimana punggawa, ada berita apa ?” tanya Sultan Agung.
” Mohon ampun Gusti, lobang pada bendungan ulah Alun Sebantheng sudah ditutup, namun muncul lobang baru di sebelah timur laut lobang yang lama dan celakanya gusti Sultan... lobang itu makin lama bertambah panjang” lapor Punggawa kerajaan.
” Paman patih dan kamu Punggawa, jadikan saksi bahwa suatu ketika tempat itu akan terkenal dengan nama karet, sebab kerusakan bendungan makin lama makin bertambah panjang seperti karet” mendengar ucapan sang raja, patih dan punggawa saling pandang dengan terdiam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
” Kalau begitu besok aku akan melihat keadaan di bendungan” ucap Sultan Hanyakra Kusuma.
Keesokan harinya dengan di kawal oleh beberapa punggawa Sultan Agung Hanyakra Kusuma meninjau bendungan, hingga menjelang sore beliau beristirahat disamping tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong. Tiba tiba muncul sosok cantik mengenakan busana kanarendran berwarna hijau yang ternyata adalah Ratu Laut Selatan. Pada saat itu bertepatan pada hari rabu minggu terahir pada bulan sapar (Rabu : rebo, terahir : pungkasan) Kedua penguasa yang berbeda alam tersebut saling beradu kata, berebut benar dan mencari benarnya sendiri. Kata-kata yang seharusnya tidak pantas diucapkan oleh seorang pengayom dan panutan tidak sadar terucapkan. Keduanya marah-marah namun hanya sebatas kata-kata tanpa ada adu kesaktian (jawa: Muni-muni)
Dan sekarang hari rabu terahir pada bulan sapar diperingati sebagai hari rebo pungkasan, dan daerah disekitar tempuran Kali opak dan Kali Gajah wong terkenal dengan nama desa Karang Wuni (tempat marah-marah Sultan Agung dan Ratu Pantai Selatan )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar